
JAKARTA – portalbmi.id – | Setiap tanggal 21 April, perempuan di berbagai penjuru Indonesia kerap tampil anggun mengenakan kebaya. Tak hanya sekadar busana tradisional, kebaya kini seakan menjadi simbol yang melekat erat dengan peringatan Hari Kartini. Tapi, pernahkah terlintas di benak kita—mengapa kebaya begitu identik dengan momen tersebut?
Secara historis, kebaya bukanlah busana asli Nusantara. Banyak ahli menyebut kebaya berasal dari budaya Arab. Kata “kebaya” diyakini berasal dari istilah Arab “kaba” yang berarti pakaian. Busana ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Melaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi, seiring dengan perjalanan para pedagang dan penjelajah. Penulis dan sejarawan Denys Lombard bahkan menyebutkan dalam karyanya Nusa Jawa: Silang Budaya bahwa kebaya masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan dipopulerkan lewat pengaruh Portugis di Asia Tenggara.
Meski memiliki jejak historis lintas budaya, kebaya justru berkembang menjadi simbol identitas perempuan Indonesia. Terutama setelah era Raden Ajeng (R.A.) Kartini, tokoh pelopor emansipasi wanita yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah.
Kartini, yang dikenal karena pemikirannya yang progresif tentang pendidikan dan kebebasan perempuan, kerap digambarkan mengenakan kebaya dalam foto-fotonya yang kini menjadi ikon. Penampilannya dalam kebaya dianggap sebagai perwujudan perempuan yang cerdas, anggun, dan memegang teguh nilai-nilai budaya.
Tak heran jika kemudian kebaya dijadikan simbol peringatan Hari Kartini. Lebih dari sekadar busana, kebaya pada momen ini menjadi representasi perjuangan, keanggunan, serta kekuatan perempuan Indonesia. Sekolah-sekolah, kantor pemerintahan, dan berbagai lembaga kerap mengadakan peringatan Hari Kartini dengan parade kebaya sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan perjuangan Kartini.
Tak hanya di Indonesia, kebaya juga dikenal di wilayah lain seperti Malaysia dan Singapura, meski dengan gaya dan nama yang berbeda. Umumnya, kebaya terbuat dari kain tipis seperti brokat atau katun, dipadukan dengan kain batik, sarung, atau songket.
Kini, kebaya tak lagi identik dengan acara formal atau tradisional saja. Banyak desainer tanah air yang memodifikasi kebaya menjadi lebih modern tanpa meninggalkan unsur klasiknya, sehingga dapat dikenakan dalam berbagai kesempatan.
Jadi, saat melihat perempuan mengenakan kebaya pada 21 April, bukan hanya keindahan busananya yang patut diapresiasi. Tapi juga semangat perjuangan dan cita-cita Kartini yang terus hidup lewat simbol pakaian itu menyampaikan pesan bahwa perempuan Indonesia tetap bisa tampil kuat, cerdas, dan berbudaya.