
Ilustrasi percakapan antara pengguna dengan platform AI. (Foto: iStock/Laurence Dutton)
JAKARTA – portalbmi.id – Cepat, pintar, dan bisa jawab hampir segalanya tidak heran jutaan orang di seluruh dunia mengandalkan berbagai platform kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), termasuk ChatGPT. Namun, apakah ‘jin digital’ ini diam-diam membuat otak kita jadi tumpul setiap kali kita menuliskan prompt?
Sebuah studi terbaru dari para peneliti di Media Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, mengungkapkan temuan yang cukup mengkhawatirkan: kemungkinan besar, jawabannya adalah iya. Para peneliti menemukan bahwa penggunaan berlebihan alat AI seperti ChatGPT bisa secara diam-diam mengikis daya ingat, kemampuan berpikir kritis, bahkan aktivitas otak kita.
Dipublikasikan di arXiv, studi berjudul “The Cognitive Cost of Using LLMs” ini mengeksplorasi bagaimana model bahasa besar (large language models/LLMs), terutama ChatGPT, mempengaruhi kemampuan otak untuk berpikir, belajar, dan menyimpan informasi.
Mahasiswa yang bergantung pada ChatGPT untuk menulis esai menunjukkan penurunan daya ingat dan keterlibatan otak yang lebih rendah.
Para peneliti MIT dalam studi ini menyebut penggunaan AI seperti membuat kita “berutang kognitif” pada otak kita, menurut laporan The Telegraph.
“Utang kognitif”, atau “cognitive debt” adalah istilah yang digunakan untuk menjabarkan kondisi ketika kita melewatkan proses berpikir demi mendapatkan jawaban instan, tapi akhirnya kita tidak benar-benar paham kenapa jawabannya seperti itu.
OTAK VS BOT
Hasil studi didapat melalui riset yang dilakukan terhadap 54 mahasiswa MIT selama empat bulan penuh dengan menggunakan perangkat EEG (electroencephalography) untuk memantau aktivitas otak mereka.
Para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok: satu menggunakan ChatGPT, satu lagi mengandalkan Google, dan yang terakhir adalah grup tidak menggunakan bantuan eksternal sama sekali kelompok ini dijuluki sebagai “Brain-only“, atau hanya mengandalkan otak.
Meskipun kelompok pengguna AI awalnya menunjukkan hasil yang lebih cepat, temuan jangka panjangnya justru bikin khawatir.
Mahasiswa yang bergantung pada ChatGPT untuk menulis esai menunjukkan penurunan daya ingat, keterlibatan otak yang lebih rendah, dan skor yang juga lebih buruk dibanding rekan-rekan mereka, menurut riset tersebut, seperti dikutip dari The Register.Â
Penggunaan ChatGPT secara rutin bukan hanya memengaruhi bagaimana kita berpikir, tapi bisa jadi pertanda apakah kita masih berpikir sama sekali.
Seperti yang dicatat para peneliti, “Peserta kelompok yang menggunakan LLM (AI) tampil lebih buruk dibanding kelompok Brain-only dalam semua aspek: neural, linguistik, dan skor.”
GOOGLE MASIH LEBIH BAIK
Menariknya, mahasiswa yang menggunakan Google menunjukkan aktivitas otak yang moderat dan menghasilkan konten yang lebih bernas dibanding mereka yang mengandalkan ChatGPT.
Sementara itu, kelompok Brain-only mencatat tingkat keterlibatan kognitif paling tinggi, menghasilkan ide-ide orisinal dan wawasan yang lebih dalam.
Fakta lainnya yang bikin terkejut: bahkan saat pengguna ChatGPT mencoba menulis tanpa bantuan AI, aktivitas otak mereka tetap rendah.
Hal ini berbanding terbalik dengan dua kelompok lainnya yang justru menunjukkan peningkatan saat beradaptasi dengan alat baru.
Ini mengindikasikan bahwa penggunaan ChatGPT secara rutin bukan cuma memengaruhi bagaimana kita berpikir, tapi bisa jadi pertanda apakah kita masih berpikir sama sekali.
UTANG KOGNITIF
Studi ini juga menyoroti bagaimana ketergantungan berlebih pada AI bisa memicu pasifnya mental kita. Meskipun pengguna ChatGPT melaporkan bahwa mereka mengakses informasi dengan lebih mudah, kenyamanan ini ternyata harus dibayar dengan harga yang tidak murah.
Seperti yang dijelaskan para peneliti, “Kenyamanan ini datang dengan ‘utang kognitif’, mengurangi kecenderungan pengguna untuk secara kritis mengevaluasi hasil atau ‘pendapat’ yang dihasilkan oleh LLM (AI).”
Ketika kita terlalu nyaman dengan kehadiran AI, tanpa sadar mungkin kita telah mengorbankan kemampuan untuk berpikir kritis.
Tim peneliti juga mengangkat kekhawatiran soal bias algoritma: konten yang muncul di urutan teratas dari AI sering kali merupakan hasil pelatihan berbasis data yang didorong kepentingan pemilik modal, bukan berdasarkan kebenaran atau nilai informasi itu sendiri.
Ini menciptakan versi baru dari “ruang gema” (echo chamber) yang lebih canggih, yakni ketika pikiran kita secara halus dibentuk bukan oleh proses berpikir sendiri, tapi oleh AI.
SARAN BAGI GENERASI AI
Ketika perangkat AI semakin melekat dalam rutinitas harian kita, mulai dari menulis email sampai mengerjakan esai, studi ini menjadi semacam peringatan untuk para siswa, pengajar, dan profesional.
Meskipun alat seperti ChatGPT bisa menjadi asisten yang sangat membantu, AI sebaiknya tidak dijadikan penopang utama dalam berpikir.
Para peneliti menekankan bahwa seiring perkembangan AI, para pengguna harus tetap waspada terhadap potensi efek sampingnya bagi kemampuan berpikir. Ketika kita terlalu nyaman dengan kehadiran AI, tanpa sadar mungkin kita telah mengorbankan kemampuan untuk berpikir kritis.Â