
Krisis Kemanusiaan dan Kelaparan Akut di Gaza terjadi akibat blokade total Israel yang membuat pasokan makanan, air, dan obat-obatan dihentikan.
GAZA – PortalBMI.id – Jumlah korban jiwa akibat kelaparan di Jalur Gaza meningkat menjadi 115 orang di tengah serangan Israel yang terus berlanjut dan minimnya bantuan kemanusiaan yang masuk.
Kelaparan di Gaza terjadi akibat blokade total Israel yang membuat pasokan makanan, air, dan obat-obatan dihentikan, sementara serangan udara menghancurkan pertanian dan infrastruktur.
Bantuan kemanusiaan sulit masuk karena pembatasan dan serangan terhadap konvoi bantuan.
Warga kehilangan akses ke pasar dan penghasilan, membuat pangan langka dan mahal.
Anak-anak paling terdampak, dengan malnutrisi akut meluas.
Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan pada Kamis (24/7/2025), sebagian besar korban kelaparan merupakan anak-anak dan meninggal dalam beberapa pekan terakhir.
Oxfam, organisasi nirlaba dari Inggris, memperingatkan bahwa kelaparan kini telah menyebar luas di Gaza dan menyebabkan banyak warga sipil meninggal.
Oxfam adalah organisasi internasional yang fokus pada pengentasan kemiskinan dan ketidakadilan.
Didirikan di Inggris tahun 1942, Oxfam kini bekerja di lebih dari 90 negara.
Dalam krisis Gaza, Oxfam aktif memperingatkan bahaya kelaparan massal dan dampak blokade terhadap warga sipil.
Lewat pernyataannya yang dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (23/7/2025), Oxfam menyebut kondisi kemanusiaan di Gaza sebagai “bencana dan belum pernah terjadi sebelumnya”, dengan krisis gizi akut dan air tercemar memperparah penderitaan warga.
Organisasi itu juga mengkritik lemahnya respons internasional terhadap permohonan bantuan yang berulang kali diajukan.
Sementara itu, UNRWA badan PBB untuk pengungsi Palestina menyatakan keluarga-keluarga di Gaza kini “hancur secara fisik dan emosional”.
“Orang tua terlalu lapar untuk merawat anak-anak mereka,” ujar Kepala UNRWA Philippe Lazzarini di platform X.
Ia menambahkan, banyak warga yang datang ke klinik UNRWA dalam kondisi lemah dan tanpa energi untuk mengikuti saran medis.

Di lapangan, situasi digambarkan semakin memburuk.
Reporter Al Jazeera, Hani Mahmoud, melaporkan dari Gaza bahwa warga berteriak meminta bantuan apa pun yang bisa mereka dapatkan.
“Kelaparan dan dehidrasi yang dipaksakan menyebar luas, sistem kekebalan warga menurun, dan mereka tak mampu melawan penyakit,” ujarnya.
Kecaman Internasional
Pada saat yang sama, tekanan internasional terhadap Israel terus meningkat.
Lebih dari 60 anggota Parlemen Eropa pada Kamis (24/7/2025) menyerukan pertemuan darurat kepada kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, untuk menekan Israel menghentikan blokade.
Anggota Parlemen Eropa asal Irlandia, Lynn Boylan, mengecam standar ganda Uni Eropa dalam menyikapi krisis ini.
“Jelas, nyawa warga Palestina tidak dianggap setara dengan nyawa warga Ukraina,” ujar Boylan kepada Al Jazeera.
Ia juga menyebut adanya tekanan besar terhadap siapa pun yang berani mengkritik Israel atas kejahatan perang yang terjadi.
Di sisi lain, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan pemimpin Jerman dan Prancis untuk membahas cara menghentikan kekerasan dan mengirimkan bantuan mendesak.
Namun, upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata kembali gagal.
Utusan AS, Steve Witkoff, mengumumkan penarikan delegasinya dari pembicaraan di Qatar, dan menuding Hamas tidak serius dalam mencapai kesepakatan damai.
Hamas menanggapi dengan menyatakan keterkejutannya atas pernyataan itu dan menegaskan masih ingin melanjutkan negosiasi demi gencatan senjata permanen.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump dikritik karena mendorong relokasi warga Gaza ke negara tetangga, yang dinilai berpotensi sebagai bentuk pembersihan etnis.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan akan mengakui Negara Palestina secara resmi dalam sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang.
Langkah ini disambut baik oleh Otoritas Palestina, namun dikecam keras oleh pejabat Israel, termasuk Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang menyebutnya sebagai bentuk “penyerahan kepada terorisme”.
Hingga kini, semua penyeberangan perbatasan Gaza telah ditutup selama lebih dari 140 hari, memperparah kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Bencana kemanusiaan di Gaza terus memburuk, dan komunitas internasional kini dihadapkan pada urgensi untuk bertindak sebelum jumlah korban terus bertambah.
Genosida Gaza
Data terakhir yang diperbarui pada 24 Juli 2025 mengunkap, sebanyak 59.586 orang dilaporkan tewas selama konflik berkepanjangan di Jalur Gaza.
Konflik ini telah berlangsung selama 656 hari dan terus menimbulkan dampak kemanusiaan yang sangat besar.
Selain korban jiwa, tercatat pula 14.498 orang mengalami luka-luka, dengan banyak di antaranya mengalami cedera serius, Middle East Monitor melaporkan.
Jumlah orang yang dilaporkan hilang pun mencapai 11.000 jiwa, memperburuk krisis kemanusiaan yang terjadi.
Menurut laporan Al Jazeera, setidaknya 62 warga Palestina juga tewas akibat serangan Israel, termasuk 19 orang yang sedang mencari bantuan kemanusiaan.