
"Desa Bali" yang menampilkan nuansa budaya Indonesia di China tenggara. ANTARA/Xinhua
QUANZHOU – portalbmi.id – Patung-patung gajah berjajar di pinggir jalan, dan replika kecil “Gerbang Surga” yang ikonis dari Bali menyambut para pengunjung di pintu masuk Komunitas Nanshan di Distrik Luojiang, Quanzhou, Provinsi Fujian, China tenggara. Dikenal secara lokal sebagai “Desa Bali”, kawasan unik ini menampilkan nuansa budaya Indonesia yang kental di China tenggara.
Meskipun ditulis dengan aksara Mandarin yang berbeda, “Desa Bali” memiliki pengucapan yang sama dalam bahasa Mandarin dengan Pulau Bali yang terkenal di Indonesia. Pada 1960-an, sekelompok warga keturunan China-Indonesia kembali dari Bali dan menetap di daerah ini, menjadi fondasi bagi berkembangnya komunitas yang kini hidup dan kaya dengan nuansa Asia Tenggara.
Dimulai dari nyaris tanpa apa pun selain tekad kuat, para perintis yang kembali itu mengubah lahan pertanian menjadi kawasan modern dalam kurun waktu enam dekade. Melalui kerja keras lintas generasi dan semangat kemandirian, mereka tidak hanya membangun tempat tinggal, tetapi juga memperkuat identitas budaya yang mendalam.
Zhang Lianxing (77) merupakan salah satu perintis yang kembali ke Nanshan pada 1961. “Kami kembali tanpa membawa apa-apa,” kenang Zhang. “Kami mulai dari bertani, lalu bekerja di pabrik, dan perlahan-lahan membangun kehidupan di sini.” Sepanjang jalan, berbagai toko keluarga lainnya, termasuk kafe dan tempat makan, turut memperkaya suasana komunitas ini. Banyak pemilik usaha mewarisi keterampilan memasak dan budaya dari leluhur mereka yang membawanya kembali ke China.
Kini, Balai Pameran Budaya Komunitas tersebut memamerkan pakaian batik tradisional Indonesia dan alat musik angklung. Menurut seorang pejabat komunitas, banyak warga lanjut usia masih berbicara dalam bahasa Bali di antara mereka, dan mereka juga menikmati tarian tradisional Bali yang akrab sejak masa muda mereka.
Keponakan Zhang kini menjalankan toko kue khas Indonesia di komunitas tersebut, menawarkan jajanan seperti lemper, kue lapis, dan kue dadar. “Resep ini diwariskan dari orang tua saya, yang belajar langsung saat tinggal di Indonesia,” ujarnya. “Saya masih menyukai makanan yang manis, digoreng, dan pedas. Cita rasa itu tak pernah hilang dari ingatan saya,” imbuh Zhang.

Sepanjang jalan, berbagai toko keluarga lainnya, termasuk kafe dan tempat makan, turut memperkaya suasana komunitas ini. Banyak pemilik usaha mewarisi keterampilan memasak dan budaya dari leluhur mereka yang membawanya kembali ke China
Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya saat hari libur, “Jalan Indonesia” yang menjadi ikon komunitas ini telah berkembang menjadi pusat kegiatan yang ramai. Banyak orang datang ke stan-stan pasar, di mana aroma jajanan Asia Tenggara bercampur dengan tawa meriah.
Suasana jalan yang semarak dengan warna dan cita rasa ini menawarkan gambaran tentang hubungan erat antara budaya Indonesia dan China. Sebagai jembatan hidup bagi pertukaran budaya, “Desa Bali” di Quanzhou terus memainkan peran penting dalam meningkatkan rasa saling pengertian dan mendorong integrasi multikultural.