
Konstruksi proyek nikel PT Gunbuster Nickel Industry./dok. GNI
JAKARTA – portalbmi.id – Asosiasi Penambang Indonesia (APNI) memaparkan sejumlah perusahaan smelter yang menyetop sebagian lini produksinya, di tengah masalah tekanan margin akibat harga nikel yang bertahan di tren bearish.
Anggota dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan setidaknya terdapat empat perusahaan smelter nikel yang terpantau telah melakukan penyetopan sementara atau shutdown sebagian lini produksinya.
Mereka a.l. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang masing-masing beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.
Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe, Sulawesi Tenggara dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) di kawasan Indonesia Wedabay Industrial Park (IWIP), Maluku Utara.
Berikut perinciannya, menurut data yang dihimpun APNI:

1. Gunbuster Nickel Industry
Djoko menjelaskan PT GNI memiliki lebih dari 20 lini produksi nickel pig iron (NPI) untuk bahan baku baja nirkarat atau stainless steel.
Menurutnya, hampir seluruh lini produksi PT GNI telah offline sejak awal 2024, dan hanya “sebagian lini yang masih berjalan.”
“Estimasinya lebih dari 15 lini produksi [GNI] telah dihentikan, kemungkinan mendekati total shutdown,” kata Djoko saat dihubungi, Rabu (16/7/2025).
Namun, menurut keterangan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Setia Diarta, anak usaha grup konglomerat China, Jiangsu Delong Nickel Industry Co, itu masih menunggu jadwal rapat dengan krediturnya untuk mendapatkan pendanaan baru.
“Saat ini GNI sedang menunggu jadwal rapat kreditur. Kemungkinan pada Agustus. Update yang kami terima begitu,” kata Setia kepada Bloomberg Technoz, saat dimintai konfirmasi medio Juni.
Sampai dengan proses pendanaan oleh investor baru tersebut rampung, Setia menegaskan PT GNI masih menjadi entitas anak usaha Jiangsu Delong, yang notabene sedang diterpa isu keuangan di negara asalnya China sejak tahun lalu.
Dalam kesempatan terpisah awal bulan lalu, Setia juga mengonfirmasi smelter PT GNI sudah kembali beroperasi dengan manajemen baru, yang disinyalir masih berasal dari investor China.
“Gunbuster sekarang sudah berjalan lagi. Hanya pergantian manajemen,” katanya.

2. Tsingshan Holding Group
Djoko mengatakan smelter Tsingshan di Morowali telah menghentikan beberapa lini produksi baja nirkaratnya dan satu lini produksi cold-rolling mill sejak Mei 2025.
“Tidak disebutkan jumlah pastinya, hanya disebut ‘beberapa’, karena skalanya besar—kapasitas jutaan ton — estimasi jumlahnya antara 2—5 lini yang ditangguhkan untuk perawatan atau karena gangguan pasokan bahan baku,” terangnya.
Nickel and New Energy Research Director Tsingshan, Lynn, sebelumnya memang mengonfirmasi penyetopan sementara—bukan penutupan — lini produksi dilakukan di lini produksi canai dingin atau cold roll pabrik baja nirkaratnya yang beroperasi di IMIP.
“Ya, kami telah menghentikan jalur produksi cold rolling,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, awal Juni.
Bagaimanapun, Lynn menolak untuk mendetailkan lebih lanjut volume produksi baja nirkarat yang dihentikan sementara oleh Tsingshan di Indonesia.
“Situasi terperincinya tidak bisa kami ungkapkan. Saya tidak bisa bicara tentang produksi kami sendiri, tetapi total produksi di Indonesia [masih] baik-baik saja,” kata Lynn.
Secara umum, lanjutnya, Lynn mengindikasikan produksi dari smelter nikel pirometalurgi di Indonesia masih aman untuk tahun ini.
Untuk NPI, misalnya, Tsingshan memproyeksikan output atau produksi dari Indonesia mencapai 1,74 juta ton pada 2025.

3. Virtue Dragon dan Huadi Nickel
Djoko mengakui tidak mendapatkan informasi detail atau data publik yang menyebutkan berapa jumlah lini produksi yang dihentikan atau dipangkas secara kuantitatif di smelter nikel milik VDNI dan HNI.
Namun, menurut informasi yang diterima APNI, keduanya diketahui telah mengurangi produksi sebagai respons atas kenaikan biaya produksi dan penurunan permintaan.
“Data jumlah lini belum tersedia, mungkin hanya berupa pengurangan kapasitas agregat, bukan penghentian total satuan lini,” tegasnya.
APNI sebelumnya melaporkan sejauh ini terdapat 28 lini produksi di pabrik pemurnian nikel yang berhenti beroperasi di Indonesia. Sebanyak 25 di antaranya didominasi oleh lini produksi di smelter GNI.
Pernyataan tersebut sekaligus mengklarifikasi pemberitaan di sejumlah media massa yang baru-baru ini mengeklaim terdapat 28 smelter telah distop operasinya, bahkan ditutup.
“Sebanyak 28 line smelter ini maksudnya jumlah production lines dan termasuk 25 lines di Gunbuster Nickel Industry yang bermasalah karena mayoritas shareholder-nya, Jiangsu Delong, bangkrut,” kata Djoko pada kesempatan terpisah, kemarin.
Menurut data APNI, saat ini terdapat 120 proyek smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia yang membutuhkan total 584,9 juta ton bijih nikel.
Perinciannya; sebanyak 49 sudah beroperasi dengan kebutuhan 240,2 juta ton bijih nikel, 35 masih dalam tahap konstruksi dengan taksiran kebutuhan 150,3 juta ton bijih, dan 36 masih dalam tahap perencanaan dengan estimasi kebutuhan 194,5 juta ton bijih.
Sementara itu, proyek hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL) hanya sebanyak 27 dengan kebutuhan total 150,3 juta ton bijih nikel.
Perinciannya; sebanyak 5 sudah beroperasi dengan kebutuhan 48,2 juta ton bijih nikel, 3 masih dalam tahap konstruksi dengan taksiran kebutuhan 33,6 juta ton bijih, dan 19 masih dalam tahap perencanaan dengan estimasi kebutuhan 68,5 juta ton bijih.
Dengan demikian total proyek smelter nikel di Indonesia mencapai 147 proyek dengan estimasi total kebutuhan bijih 735,2 juta ton. Sementara itu, RKAB nikel yang disetujui untuk 2025 mencapai 364 juta ton, naik dari tahun lalu sebanyak 319 juta ton.
Dilaporkan Bloomberg Technoz sebelumnya, industri smelter nikel khususnya yang berbasis RKEF atau pirometalurgi di Indonesia yang selama ini sudah cukup tertekan.
Beberapa pemain besar di sektor ini bahkan telah melakukan penyetopan lini produksi sementara sejak awal tahun ini akibat margin yang makin menipis, bahkan mendekati nol, saat permintaan baja nirkarat China turun dan biaya produksi makin meningkat.