
Direktur Jenderal Penempatan KP2MI, Ahnas, S.Ag., M.Si., saat ditemui di Mataram usai membuak kegiatan FGD penguatan peran P3MI di NTB. (Foto: RRI/Halwi)
MATARAM – portalbmi.id – Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) berkomitmen untuk mencegah pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural atau ilegal. Langkah ini dilakukan demi melindungi hak-hak para pekerja migran dan mencegah mereka menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Direktur Jenderal Penempatan KP2MI, Ahnas, S.Ag., M.Si., menjelaskan pihaknya kini sedang fokus melakukan pembenahan menyeluruh terhadap tata kelola penempatan PMI di seluruh Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini mencakup penataan regulasi, penguatan sistem pengawasan, dan peningkatan sinergi antar lembaga.
“Dulu kita bagian dari lembaga penempatan, sekarang dengan hadirnya Kementerian Pelindungan PMI, tata kelola kita atur langsung dan lebih kuat,” jelas Ahnas, saat ditemui di Mataram, Selasa (29/7/2025).
Ahnas menekankan pentingnya pelibatan pemerintah daerah, mulai dari provinsi hingga desa, dalam sistem pengawasan dan pelayanan PMI. Selain itu, lembaga penempatan seperti P3MI juga menjadi perhatian, di mana dilakukan proses akreditasi lembaga dan sertifikasi terhadap petugasnya.
“Kita ingin memastikan semua lembaga penempatan berjalan sesuai aturan. P3MI kita awasi dan tata agar tidak ada lagi penggunaan tekong atau perantara ilegal,” tegasnya.
Tekong atau calo ilegal selama ini kerap menjadi celah utama dalam pengiriman PMI non-prosedural. Mereka menyalurkan pekerja migran melalui jalur-jalur tikus seperti di Kalimantan Barat, Nunukan, dan Batam tanpa dokumen yang sah, sehingga membahayakan para pekerja tersebut.
Untuk mencegah itu, KP2MI telah mengembangkanSistem Komputerisasi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (SISKO P2MI), platform digital yang mengintegrasikan proses penempatan PMI dari awal hingga akhir. Sistem ini memungkinkan pemantauan dan pengawasan yang lebih efektif, mulai dari penerbitan job order, proses rekrutmen, hingga penempatan di negara tujuan.
“Dengan sistem ini, seharusnya pelanggaran tidak terjadi. Jika ada pelanggaran, biasanya dilakukan oleh oknum di luar sistem resmi,” tambahnya.
Ahnas mengakui bahwa salah satu tantangan yang masih dihadapi adalah persepsi masyarakat bahwa proses penempatan PMI secara prosedural itu rumit dan memakan waktu. Namun, ia menegaskan bahwa proses yang benar memang memerlukan waktu demi perlindungan maksimal bagi para pekerja.
“Proses tidak bisa instan, tapi pelayanan harus mudah dan tidak berbelit-belit. Kita pastikan pelayanan cepat dan biaya terjangkau,” ungkapnya.
Ahnas juga mengimbau masyarakat agar selalu menggunakan jalur resmi dan tidak tergiur tawaran kerja ke luar negeri melalui jalur tidak jelas. Ia mendorong calon PMI untuk bertanya dan berkonsultasi langsung dengan lembaga resmi seperti BP3MI, dinas tenaga kerja, atau pemerintah desa setempat.
“Pastikan penempatan kerja ke luar negeri dilakukan secara prosedural, aman, dan terdokumentasi. Jangan sampai menjadi korban perdagangan orang hanya karena tergiur janji manis oknum tak bertanggung jawab,” tegasnya.