
keluarga harapan adalah keluarga harmonis. Foto; Orami
JAKARTA – portalbmi.id – Setiap tanggal 15 Mei, dunia memperingati Hari Keluarga Internasional, sebuah peristiwa penting yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1993. Peringatan ini adalah panggilan ke seluruh dunia untuk mengingat peran penting keluarga dalam membangun masyarakat yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.
Perhatian dunia terhadap isu keluarga mulai menguat pada dekade 1980-an yang kemudian diperingati sebagai Hari Keluarga Internasional. Pada 1983, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar Komisi Pembangunan Sosial meningkatkan kesadaran para pengambil kebijakan dan masyarakat luas mengenai masalah dan kebutuhan keluarga. Rekomendasi ini kemudian direspon Majelis Umum PBB dengan mencanangkan Tahun Keluarga Internasional pada 1989, yang berujung pada penetapan 15 Mei sebagai Hari Keluarga Internasional melalui resolusi A/RES/47/237 pada 1993.
Sejak saat itu, setiap tahun Hari Keluarga Internasional diisi dengan tema yang relevan dengan dinamika sosial dan tantangan zaman, mulai dari kesetaraan gender, perlindungan anak, hingga isu perubahan iklim dan digitalisasi. Tujuannya adalah membangun kesadaran global akan peran keluarga dalam membentuk masyarakat yang berkelanjutan dan tangguh.
Tahun 2025, peringatan ini mengusung tema “Kebijakan Berorientasi Keluarga untuk Pembangunan Berkelanjutan: Menuju KTT Dunia Kedua untuk Pembangunan Sosial”. Tema ini menyoroti urgensi kebijakan yang berpihak pada keluarga dalam mendukung pembangunan sosial dan ekonomi, terlebih di tengah transformasi teknologi, urbanisasi, migrasi, serta persoalan perubahan iklim.
Momentum ini juga menjadi bagian dari persiapan menuju KTT Dunia Kedua untuk Pembangunan Sosial di Doha, Qatar, yang akan menguatkan komitmen global terhadap pengentasan kemiskinan, pekerjaan layak, dan inklusi sosial.
Deklarasi Kopenhagen 1995 menyatakan, keluarga adalah fondasi masyarakat. Maka, kebijakan publik yang berorientasi keluarga menjadi acuan dalam menciptakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan rumah tangga, serta membangun kemitraan setara di dalam keluarga.
Untuk merayakan Hari Keluarga Internasional, kita bisa mengambil bagian dalam berbagai kegiatan yang sederhana dan bermakna. Seperti membangun silsilah keluarga untuk merekatkan hubungan antargenerasi dan menanamkan rasa identitas, piknik atau kegiatan bersama untuk meningkatkan komunikasi, gotong royong dan tindakan sosial sebagai bentuk solidaritas, dan berdialog ihwal keluarga tentang masalah kekinian untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan zaman.
Isu global
Kendati, di tengah pesatnya arus digitalisasi dan perubahan sosial global, keluarga menghadapi problem yang semakin kompleks, transformasi teknologi, perubahan iklim, dan pergeseran nilai sosial menuntut keluarga untuk beradaptasi, sekaligus memperkuat ketahanan internal sebagai fondasi pembangunan sosial dan ekonomi.
Digitalisasi membawa dampak. Di satu sisi memudahkan komunikasi dan membuka peluang ekonomi baru, sebaliknya di sisi lain membawa risiko kecanduan teknologi, disinformasi, dan perubahan pola komunikasi yang bisa mengancam keharmonisan keluarga.
Di Indonesia, penetrasi internet mencapai lebih dari 212 juta pengguna aktif. Data Kominfo mencatat, rata-rata penggunaan internet harian mencapai 8 jam 36 menit per hari pada 2024, dengan sekitar 30 persen anak menghabiskan lebih dari 4 jam sehari bermain gawai. Hal ini berimbas pada menurunnya kualitas interaksi keluarga, muncul konflik, hingga gangguan kesehatan fisik dan mental.
Kemudahan akses informasi juga memantik ancaman disinformasi. Konten palsu dan berita bohong di media sosial mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan dalam keluarga, memperkeruh hubungan antaranggota, bahkan mengancam keamanan demokrasi. Untuk itu, literasi digital menjadi formula super penting.
Keluarga, terlebih orang tua, sejatinya mampu membimbing anak-anak dalam menggunakan teknologi secara bijak. Program digital parenting, pembatasan waktu, serta edukasi tentang etika dan keamanan digital perlu diterapkan sejak dini.
Di sisi lain, pemerintah terus memperkuat regulasi perlindungan anak di ruang digital. Aturan pembatasan usia, pendampingan keluarga, dan pengawasan konten digital menjadi fokus utama. Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat dalam membangun ekosistem digital yang sehat sangat dibutuhkan untuk menekan dampak negatif teknologi.
Literasi digital yang baik membantu keluarga memilah informasi, menjaga etika komunikasi, dan membangun kesadaran akan jejak digital. Dengan demikian, keluarga menjadi filter dalam menghadapi banjir informasi di era digital.
Selain tantangan digital, keluarga di Indonesia juga dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti angka perceraian yang meningkat, tingginya stunting, perkawinan anak, serta konflik internal, seperti pisah ranjang, KDRT, dan masalah kesehatan mental.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 399.921 kasus perceraian terjadi di Indonesia pada 2024, dengan Jawa Barat menduduki posisi tertinggi. Penyebabnya, yakni perselisihan, masalah ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dampaknya terasa luas, mulai dari kerentanan ekonomi pascaperceraian, penelantaran anak, hingga gangguan kesehatan mental.
Stunting masih menjadi pekerjaan rumah besar dengan prevalensi 21,5 persen di awal 2025. Pemerintah, melalui BKKBN dan program makan bergizi gratis, berupaya menekan angka ini menuju target 18 persen pada 2025. Isu perkawinan anak pun masih menjadi perhatian, dengan prevalensi 6,92 persen pada 2023, terutama di Nusa Tenggara Barat dan Papua. Pemerintah sudah meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) untuk menangani isu ini.
Faktor penting dalam mengatasi problem tersebut adalah ketahanan keluarga. Setidaknya, data BKKBN menampakkan bahwa ukuran kebahagiaan, ketenteraman, dan kemandirian keluarga di Indonesia masih di bawah 60 persen, mengindikasikan bahwa penguatan sistematis diperlukan.
Kebijakan publik
Kebijakan publik memegang peranan dalam membangun keluarga berkualitas. Pemerintah meluncurkan Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) untuk memetakan status pembangunan keluarga di seluruh Indonesia, mengukur dimensi ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan. Sebagai bagian dari Visi Indonesia Emas 2045, maknanya agar keluarga Indonesia dikategorikan sebagai “tangguh”.
Kolaborasi lintas sektor pun terus dikuatkan. Kementerian Agama bekerja sama dengan Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU) untuk mengatasi masalah keluarga hingga ke tingkat desa.
Di sisi lain, kerja sama RI-United Nations Population Fund (UNFPA) Siklus 11 (2026–2030) menekankan pentingnya pendekatan berbasis keluarga untuk menangani masalah kependudukan, kekerasan berbasis gender, kematian ibu, dan perkawinan anak. Program Kampung Keluarga Berkualitas menjadi contoh pelaksanaan program di tingkat akar rumput.
Penguatan SDM melalui pelatihan kader, pemanfaatan teknologi digital untuk pemantauan berbasis bukti, serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan mitra swasta menjadi strategi pokok. Kebijakan publik yang terukur, kolaboratif, dan berbasis data adalah kiat mewujudkan keluarga Indonesia yang tangguh, mandiri, dan bahagia. Inilah fondasi menuju masyarakat inklusif dan sejahtera di era Indonesia Emas 2045.