
Indonesia Morowali Industrial Park di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah./Bloomberg-Dimas Ardian
JAKARTA – portalbmi.id – Center of Economic and Law Studies (Celios) berpandangan krisis industri smelter nikel di Tanah Air diprediksi masih akan berlanjut tahun depan karena ‘seleksi alam’ di sektor tersebut baru saja dimulai.
Hal ini menyusul banyaknya smelter nikel khususnya pirometalurgi yang berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia yang menghentikan operasional lini produksinya akibat margin makin tertekan dan persaingan industri tidak sehat karena investasi yang terlalu berlebihan atau saturated.
Bahkan, sejumlah smelter dikabarkan telah merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja.
“Nah seleksi alamnya baru mulai. Gelombang penghentian operasional smelter diperkirakan berlanjut dalam beberapa tahun kedepan,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira saat dihubungi, dikutip Rabu (23/7/2025).
Bhima menilai hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah selama ini mismatch atau tidak cocok hampir di semua lini. Dalam kaitan itu, dia berpandangan sejatinya tutupnya berbagai perusahaan smelter sudah terprediksi sejak booming hilirisasi nikel pada periode 2016-2021.
Pada saat itu, jumlah bijih nikel diperkirakan tidak mampu memenuhi permintaan smelter. Sementara itu, jumlah izin smelter baru yang dibangun tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
“[Hal] yang penting saat itu atas nama hilirisasi membangun smelter, dipermudah dan dimasukkan dalam PSN [proyek strategis nasional],” ujarnya.
Menurutnya, permasalahan di industri nikel mulai terjadi ketika RI mengimpor bijih nikel dari Filipina, Solomon, dan New Caledonia.
Hal itu mencerminkan industri smelter sudah sangat bermasalah karena di pabrik operasional terjadi perebutan bijih nikel, sehingga perusahaan sampai harus mengimpor dari luar negeri.
Bhima menjelaskan pada 2021 permintaan nikel mulai turun karena bisnis konstruksi di China mengalami bubble economy, yakni penjualan kendaraan listrik tidak sesuai ekspektasi. Di lain sisi, sebanyak 90% ekspor produk turunan nikel RI diekspor ke China lantaran di dalam negeri belum ada industri yang lebih hilir untuk menyerap nikel olahan yang dihasilkan smelter.
“Jadi ada mismatch hampir di semua lini,” jelas Bhima.
Diberitakan sebelumnya, industri smelter berbasis RKEF di Indonesia selama ini sudah cukup tertekan, bahkan rentan berujung pada krisis seperti yang dialami industri smelter tembaga di China.
Tak tanggung-tanggung, beberapa pemain besar di sektor ini telah melakukan penyetopan lini produksi sementara sejak awal tahun ini akibat margin yang makin menipis, bahkan mendekati nol, saat permintaan baja nirkarat China turun dan biaya produksi makin meningkat.
Anggota dewan Penasihat Asosiasi Penambang Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan setidaknya terdapat empat perusahaan smelter nikel yang terpantau telah melakukan penyetopan sementara atau shutdown sebagian lini produksinya.
Mereka a.l. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang masing-masing beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.
Lalu, Huadi PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe, Sulawesi Tenggara dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI).
Krisis yang terjadi di industri smelter tersebut menyebabkan tenaga kerja juga terdampak secara massal. IMIP bahkan dilaporkan oleh Federasi Pertambangan dan Energi (FPE) telah melakukan PHK sebanyak 3.000 pegawai di sentra industri nikel Sulawesi Tengah itu pada April 2025.
Hal itu kemudian dibantah oleh IMIP karena setiap hari pihaknya masih melakukan penerimaan dan wawancara calon karyawan baru.
“Tidak ada pemecatan 3.000 orang di seluruh perusahaan tenant yang ada di kawasan IMIP,” tegas Media Relations Head IMIP Dedy Kurniawan saat dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz, awal Juni.
“Kami hanya melakukan pemecatan terhadap karyawan yang terbukti melanggar, semisal salah satu pengurus serikat pekerja yang dipecat karena mangkir kerja selama 20 hari tanpa izin,” tambah Dedy.
Teranyar, Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) melaporkan sebanyak 1.200 karyawan telah dirumahkan oleh perusahaan smelter nikel PT Huadi Nickel Alloy Indonesia dan tiga anak usahanya.
Ketiga anak perusahan tersebut yakni PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, dan PT Huadi Yatai Nickel Industry Il yang semuanya bergerak di industri hilirisasi nikel. Adapun, Huadi Group beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan.
Sejak awal tahun ini, sederet dinamika terus mewarnai operasional perusahaan China di industri hilir nikel Tanah Air seiring dengan berlanjutnya tekanan harga nikel.
Nikel diperdagangkan di harga US$15.528/ton hari ini di London Metal Exchange (LME), naik tipis 0,03% dari penutupan hari sebelumnya. Harga nikel—yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
Sepanjang 2024, harga menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.