
Smelter nikel PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Sulawesi Selatan./Bloomberg-Dimas Ardian
JAKARTA – portalbmi.id – Kalangan pengusaha menilai solusi untuk mengendalikan harga nikel yang anjlok akibat oversupply pasokan bijih bukanlah sekadar dengan mengubah rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan menjadi tiap 1 tahun dari 3 tahunan, tetapi melalui penyehatan industri smelter.
“Jadi memang perlu ada usaha pengendalian harga. Namun, bukan di RKAB, melainkan di jumlah produksi smelter-nya,” kata Presiden Direktur PT Elit Kharisma Utama Tonny Hadhiwalujo saat dihubungi, belum lama ini.
Tonny menyebut saat ini industri smelter nikel sedang tidak baik-baik saja karena banyak lini produksi yang terpaksa dihentikan sementara (shutdown) akibat margin yang tertekan.
Menurutnya, harga nikel tidak bisa serta-merta naik hanya karena kuota produksi bijihnya dibatasi dengan mengubah RKAB menjadi 1 tahunan.
Penyebabnya, harga jual bijih nikel ke pabrik pemurnian atau smelter telanjur anjlok akibat permintaan dan daya beli industri offtaker untuk bijih nikel juga sedang lesu. Nikel dilego di harga US$14.979/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, turun 0,42% dari penutupan sebelumnya. Harga nikel telah anjlok lebih dari 50% sejak periode short squeeze pada 2022.

Smelter Standalone
Dihubungi terpisah, anggota dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan sebenarnya sudah ada wacana untuk membatasi izin smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) yang tidak terintegrasi alias standalone.
Smelter RKEF standalone ini mendapatkan izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian, berbeda dengan smelter yang terintegrasi dengan tambang di mana izinnya diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hanya saja, Djoko menyebut wacana moratorium perizinan tersebut masih dalam proses pengajuan.
“Sedangkan yang smelter terintegrasi dibatasi dari RKAB-nya. Kemungkinan penataan ulang RKAB, bertujuan mengendalikan oversupply bijih nikel,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai smelter RKEF memang perlu dimoratorium karena secara kuantitatif sudah berlebihan.
Namun, menurutnya, pengendalian produksi akan ampuh dilakukan melalui pembatasan kuota atau volume produksi di dalam RKAB.
“Kalau hanya dengan smelter saja tidak [cukup]. Seperti hari ini misalkan RKAB saya taruhlah 1 juta ton [bijih], ya maka saya 1 tahun ini boleh menambang sampai 1 juta ton, tetapi kalau tahun depan saya diturunkan menjadi 700.000 ton berarti kan itu bisa hanya maksimal 700.000 ton,” tuturnya.
Bisman berpandangan proses bijih nikel yang diolah di dalam smelter termasuk tahapan industri, bukan pertambangan dan tidak diatur di dalam RKAB.
“Akan tetapi, sekali lagi batasnya itu hanya operasi produksi batas tambang itu hanya sampai operasi produksi. Produksi itu adalah batasnya penjual. Kalau sudah dijual maka dia sudah bukan masuk pertambangan,” ucapnya.
Dia menekankan Kementerian ESDM perlu menjamin keberlangsungan usaha komoditas minerba untuk tidak memperlambat proses administrasi ketika RKAB diubah menjadi tahunan.
“RKAB mau kembali ke 1 tahun syarat mutlaknya prosesnya harus dijamin, lebih sederhana, lebih cepat, dan punya kepastian dari aspek waktu. Tanpa itu akan kembali sebelum 3 tahun. Itu tidak bagus bagi industri dan tidak disukai pelaku usaha.”
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyetujui usulan Komisi XII DPR RI untuk mengembalikan mekanisme persetujuan RKAB dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan.
Hal itu mempertimbangkan alasan ketidaksesuaian jumlah produksi minerba dengan kebutuhan atau permintaan di pasar.
Aturan persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan dari sebelumnya 1 tahunan baru berjalan selama dua tahun terakhir atau sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Sekadar catatan, industri smelter nikel Indonesia saat ini mengalami tekanan; tidak hanya untuk yang berbasis teknologi RKEF, tetapi juga segmen hidrometalurgi berbasis high pressure acid leach (HPAL).
Smelter nikel RKEF sudah sejak lama mengalami krisis karena pemain di sektor ini dianggap sudah terlalu jenuh atau saturated. Pada periode awal booming komoditas nikel, pembangunan smelter pirometalurgi dilakukan secara jorjoran. Sementara itu, smelter HPAL baru-baru ini dilaporkan tengah terpukul karena lonjakan bahan baku utama, yaitu sulfur, yang menghambat keuntungan mereka; tepat saat pasar dibebani dengan isu kelebihan pasokan bijih nikel.
Menurut data APNI, saat ini terdapat 120 proyek smelter pirometalurgi atau RKEF di Indonesia yang membutuhkan total 584,9 juta ton bijih nikel.
Perinciannya; sebanyak 49 sudah beroperasi dengan kebutuhan 240,2 juta ton bijih nikel, 35 masih dalam tahap konstruksi dengan taksiran kebutuhan 150,3 juta ton bijih, dan 36 masih dalam tahap perencanaan dengan estimasi kebutuhan 194,5 juta ton bijih.
Sementara itu, proyek hidrometalurgi atau HPAL hanya sebanyak 27 dengan kebutuhan total 150,3 juta ton bijih nikel.
Perinciannya; sebanyak 5 sudah beroperasi dengan kebutuhan 48,2 juta ton bijih nikel, 3 masih dalam tahap konstruksi dengan taksiran kebutuhan 33,6 juta ton bijih, dan 19 masih dalam tahap perencanaan dengan estimasi kebutuhan 68,5 juta ton bijih.
Dengan demikian total proyek smelter nikel di Indonesia mencapai 147 proyek dengan estimasi total kebutuhan bijih 735,2 juta ton. Sementara itu, RKAB nikel yang disetujui untuk 2025 mencapai 364 juta ton, naik dari tahun lalu sebanyak 319 juta ton.